Terbaru

Introduction Purwokerto Ku



Pernah ke Purwokerto? Kota kecil kami ini berada di kaki Gunung Slamet. Empat jam kereta api dari Yogyakarta. Tak
punya bandar udara, tak ada jalan tol. Sekitar satu setengah jam perjalanan menuju pulau Nusakambangan, terkenal
dengan mendoan dan soto Sokaraja, dan yang paling penting, di sini tersedia frasa bahagia itu sederhana dalam arti
sebenarnya. Di sini, tidak ada tempat minum kopi secangkir empat puluh ribu dalam plaza.

Jangan harap juga menemukan toko busana dengan label kelas atas. Paling megah hanyalah restoran ayam berlogo
kolonel berjanggut putih yang sering sepi pengunjung. Mentok mewah adalah kedai es krim lima puluh ribu per cup yang sekarang sudah tutup. Mall dan plaza di sini, sebenar-benar pusat perbelanjaan. Tempat pemilik-pemilik warung membeli ciki dan deterjen grosiran untuk dijual ulang. Sentra mamah-mamah muda tua membeli kebutuhan rumah tangga, dan keluarga-
keluarga borong baju baru jelang hari raya. Sudah.

Bahagia kami, ada di kedai-kedai kopi pinggir jalan, yang menawarkan kudapan
nikmat seratus ribu bisa kenyang
berenam. Berteman musik akustik atau panggung lawak tunggal, obrolan cinta
sampai bahasan kesejahteraan rakyat terdengar hangat.

Bahagia kami, ada di
diskusi gila di kantin-kantin kampus, bersama nasi tempe penyet empat ribu perak, kenyang sampai bego. Mau sudah
kerja, atau bahkan sudah beranak cucu moyang, duduk di kantin atau teras UKM kampus lalu bertukar isi kepala, adalah pintu keluar dari pengapnya
rutinitas.

Bahagia kami, ada di dentum-dentum panggung musik dengan tiket paling mahal seratus ribu, paling sering cuma-cuma. Musik apa saja dalam rangka
apa saja. Juaranya, adalah penampilan musisi-musisi lokal yang punya lagu-lagu lebih berisi daripada genjerengan di
televisi.

Bahagia kami, ada di taman-taman kota yang menawarkan tanah lapang dan sewa otopet lima ribu rupiah sampai bosan. Anak-anak kami lebih suka
meniup balon sabun di alun-alun hingga tangan lengket daripada bermain mesin di arena modern yang harus bayar mahal. Kereta putar di dalam plaza pasti iri dengan odong-odong pasar
kaget setiap Minggu pagi, yang selalu ramai antrean bocah.

Bahagia kami, ada saat berjalan kaki ramai-ramai menyusuri bukit, hutan, lalu berakhir memanjakan diri dengan spa
alam lengkap dengan lulur sulfur, di kaki gunung Slamet. Menyaksikan pemandangan kalender warung bakso tergelar di depan mata. Kebun, sawah,
bukit, sungai, mata air, pancuran air hangat, semua bisa dinikmati bermodal dua ribu perak untuk bayar parkir. Ingin
ke sana? Kalipagu, nama kawasannya. Naik motor atau mobil dari kota, paling 15 menit. Macet di kota kami cuma ada
di malam Minggu, itu pun paling lama 10 menit, jadi jangan khawatir soal itu.

Bahagia kami, ada di pernyataan cinta dari kekasih sambil melihat hamparan Purwokerto dari ketinggian. Kalau punya
uang, ritual gombal-gombalan ini bisa dihelat di satu-satunya sky poolbar di Purwokerto. Kalau tak punya atau tak mau keluar kocek, berangkatlah ke Baturaden. Ada bukit bintang, tempat lampu-lampu kota menyatu dengan
bintang tanpa garis. Satu-satunya gedung tinggi di sini, ya hotel tempat sky poolbar itu. Jadi, saat kamu berada di tempat yang tinggi, kamu betul-betul akan melihat indahnya hamparan kota. Bukan jendela gedung asing. Seru, bukan? Oh, belum. Itu belum klimaks.

Bahagia itu sederhana, di kota kami, bisa ditemukan di angkringan-angk
ringan pinggir jalan, warung-warung makan, meja-meja di emperan pasar, bahkan dapur-dapur banyak rumah. Si superlezat yang sanggup
menyunggingkan senyum dalam sekali hap itu, namanya mendoan. Tempe, yang menurut kami, paling enak sedunia. Dicocol sambal kacang atau diceplus
bersama cabai rawit, saat itulah
Purwokerto tertinggal di kepalamu